Judul Jurnal: “Menikah atau Tidak Menikah, itulah Pertanyaannya!”: Tinjauan Teologis terhadap Konsep Pribadi dan Pernikahan dalam Mengatasi Konsep Hidup Melajang di Indonesia
Penulis: Doni Herwanto
Harianja
Jurnal: JURNAL TEOLOGI
REFORMED INJILI
Edisi: Vol. 11, No. 2
Oktober 2024
DoI: https://doi.org/10.51688/VC11.2.2024.art4
Di tengah arus
modernisasi yang semakin kuat—di mana pendidikan dan karier menjadi prioritas
utama, sementara pernikahan justru dipandang sebagai pilihan sekunder—artikel
karya Doni Herwanto Harianja ini hadir sebagai angin segar yang memanggil
kembali makna asli dari pernikahan dalam terang iman Kristen. Diterbitkan dalam Jurnal Teologi Reformed Injili edisi Oktober 2024, tulisan ini memberikan
refleksi mendalam terhadap konsep pernikahan dan hidup melajang, melalui lensa
teologi dan antropologi Kristen.
🔍 Ringkasan
Isi
Artikel ini dimulai dengan paparan fenomena sosial di Indonesia: angka pernikahan yang menurun, meningkatnya jumlah individu yang memilih untuk tetap melajang, serta normalisasi kohabitasi. Berbagai studi dijadikan pijakan untuk memetakan penyebab tren ini—mulai dari tuntutan ekonomi, kesetaraan gender, hingga pengaruh teknologi seperti dating apps dan konten pornografi.
Namun, Harianja tidak berhenti pada fenomena sosiologis. Ia membawa pembaca masuk lebih dalam, menuju akar teologis: bagaimana pemahaman akan “personhood” (keberadaan sebagai pribadi) seharusnya memengaruhi cara umat Kristen memandang pernikahan. Melalui pemikiran teolog seperti Stanley Grenz, John Zizioulas, hingga Alistair McFadyen, penulis menjelaskan bahwa manusia hanya bisa memahami dirinya secara utuh melalui relasi yang bermakna, seperti yang tercermin dalam pernikahan.
🧠 Refleksi Teologis yang Kuat
Salah satu kekuatan
utama artikel ini adalah refleksi antropologis-teologis yang sangat kuat.
Pernikahan dipandang bukan sekadar institusi sosial, tetapi sebagai sarana
Allah untuk menyatakan kasih, relasi, dan pemulihan. Dalam pernikahan, pribadi
tidak sekadar menjadi "pasangan hidup", tetapi juga partner untuk
saling menumbuhkan, mengenali diri, dan mencintai dengan kasih yang melampaui
keinginan egoistik.
Konsep
“ek-stasis”—yakni kemampuan pribadi untuk keluar dari dirinya dan menyatu
dengan pribadi lain—menjadi puncak dari refleksi ini. Dalam pernikahan, manusia
belajar mencintai, memberi diri, dan menerima yang lain dalam seluruh
keunikannya. Inilah gambaran kasih Allah sendiri.
🏛️ Relevansi Kontekstual
Tulisan ini sangat
relevan bagi gereja dan masyarakat Indonesia masa kini. Gereja tidak boleh
bersikap apatis terhadap tren hidup melajang, terutama ketika banyak kaum muda
menunda atau bahkan menolak pernikahan karena standar dunia yang mengedepankan
ekonomi, pendidikan, dan “kesempurnaan pasangan”.
Dengan pendekatan
interdisipliner—menggabungkan sosiologi, psikologi, dan teologi—artikel ini
mampu mengajak pembaca berpikir ulang: apakah kita masih memaknai pernikahan
sebagai panggilan hidup yang kudus? Ataukah kita mulai terjebak dalam pandangan
utilitarian terhadap pasangan dan hubungan?
✍️ Kesimpulan
Jurnal ini bukan
hanya sebuah tulisan akademik, tetapi juga panggilan profetik bagi gereja dan
generasi muda Kristen untuk memulihkan kembali makna pernikahan sebagai
persekutuan kasih. Bagi pembaca yang rindu akan kedalaman dan relevansi
teologis dalam memahami isu kontemporer, artikel ini adalah bacaan yang sangat
layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar