Di sebuah kerajaan yang megah, berdirilah istana dengan taman terindah di seluruh negeri. Orang-orang datang dari berbagai pelosok hanya untuk melihat bunga-bunga bermekaran, jalan setapak berlapis batu yang bersih, air mancur yang jernih, dan pohon-pohon yang ditata sedemikian rupa hingga menyerupai karya seni.
Setiap tamu yang datang, selalu memuji sang raja.
“Betapa hebatnya raja ini! Ia pasti sangat cerdas dan berbakat, bisa menciptakan taman secantik ini.”
Pujian demi pujian itu disampaikan kepada raja setiap hari. Ia hanya tersenyum, menikmati kekaguman orang-orang, tanpa pernah menyebut nama orang di balik semua itu.
Tak ada yang tahu bahwa setiap pagi, sebelum matahari menyentuh rumput, ada seorang pria tua bernama Samuel yang diam-diam bekerja. Ia merawat taman itu dengan tangan sendiri selama puluhan tahun. Ia menanam, menyiram, memangkas, menata ulang… dan bahkan saat badai datang menghancurkan sebagian taman, ia membangunnya kembali tanpa mengeluh, tanpa pamrih. Ia tidak pernah dipanggil ke ruang makan istana, tidak pernah duduk di barisan terdepan acara kerajaan, bahkan namanya pun jarang disebut.
Namun, Samuel tidak pernah menuntut apa-apa. Ia melayani karena cinta. Ia berkata dalam doanya, “Tuhan, meski tak seorang pun tahu apa yang kulakukan, aku bersyukur Kau melihat segalanya.”
Sampai akhirnya, sang raja jatuh sakit keras. Di ranjang sekarat, ia berkata kepada penasihatnya,
“Bawalah aku ke taman. Aku ingin melihat tempat yang selama ini disebut-sebut orang sebagai mahakaryaku.”
Di sana, di bawah pohon besar, duduk Samuel yang sudah mulai membungkuk karena usia. Ketika raja melihatnya, ia bertanya,
“Kau masih bekerja?”
Samuel menunduk, “Selama taman ini bisa memberi damai bagi siapa pun yang datang, saya akan terus bekerja, Tuanku.”
Raja terdiam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menyadari:
semua pujian yang ia terima adalah hasil kerja seseorang yang bahkan tak dikenal publik.
Ia merasa malu. Ia menangis.
Beberapa hari kemudian, raja meninggal. Dalam surat wasiat terakhirnya, ia menulis:
“Kuburkan aku di taman, bukan sebagai pemiliknya, tapi sebagai orang yang pernah dikagumi karena pekerjaan yang bukan aku lakukan. Beri juga sebuah batu kecil di dekat makamku, bertuliskan:
‘Penguasa istana ini pernah dipuji karena taman yang ditanam oleh tangan yang tak terlihat.’”
Makna
Ketulusan sejati diuji saat kita melayani tanpa nama, tanpa panggung, tanpa pujian.
Banyak orang mendapat sorotan karena hasil kerja orang lain, tapi Tuhan tidak tertipu.
Tuhan melihat bukan siapa yang dikenal, tapi siapa yang setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar