Total Tayangan Halaman

Jesus Jalan Keselamatan

Yohanes 14:6 Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku

Lam_Mar Sihaholongan

Marsipature Rohana Be Ma

Senin, 02 Januari 2012

PUASA II

"Puasa sering menjadi Masalah yang seharusnya tidak masalah"
Untuk itulah makalah singkat ini dibuat untuk membantu 
*membuka pola pikir kita yang sempit*

PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang  Penulisan Makalah
Puasa adalah hal yang lazim dilakukan oleh setiap umat beragama. Namun  yang menjadi permasalahan adalah dalam hal pelaksanaannya apakah hanya sebatas kewajiban mengikuti peraturan keagamaan atau dilaksanakan dengan hati yang murni.
Seperti halnya didalam nats ini, dimana murid-murid Yohanes pembaptis dan orang-orang farisi mempertanyakan alasan Tuhan Yesus dan murid-muridNya untuk tidak berpuasa, sebab pada waktu itu murid-murid Yohanes pembaptis dan orang-orang farisi sedang berpuasa. Pertanyaan murid-murid Yohanes pembaptis dan orang-orang farisi adalah pertanyaan yang wajar karena pada waktu itu mereka berpuasa.
Dengan demikian murid-murid Yohanes pembaptis dan orang-orang farisi mempertanyakan alasan Tuhan Yesus dan murid-muridNya kenapa tidak mengikuti peraturan keagamaan dalam hal berpuasa. [1]
2.     Tujuan Penulisan
Dengan melihat latar belakang penulisan dan pokok permasalah diatas maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini untuk memahami paradigma yang benar tentang puasa menurut Mrk.2:18-22 dimana selama ini dalam pelaksanaannya puasa dilakukan hanya sebatas mengikuti peraturan keagamaan.



BAB I
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN

1.     Latar Belakang Penulisan kitab Markus
                 Sangat penting untuk kita mengetahui apa yang yang menjadi tujuan kitab Markus ini ditulis sehingga kita juga tidak salah menganalisa dan mengerti apa yang menjadi maksud dan tujuan penulis. Memang tidak jelas siapa yang menjadi penulis kitab ini karena  tidak ada ditulis dalam kitab itu sendiri, namun kalau kita melihat dari tradisi gereja mula-mula menegaskan bahwa kitab ini ditulis oleh Markus sendiri (Kis 12:12), dan ditulis pada tahun 50 sampai 68 yang dialamatkan kepada orang bukan Yahudi yang berbahasa latin.[2]
2.     Pengertian Puasa
                  Kalau kita melihat arti dari puasa itu sendiri adalah berpantang terhadap makanan, yang secara luas masih merupakan kewajiban religius. Hal tersebut dilakukan bersama dengan doa, dan merupakan simbol kerendahan hati manusia. Di kalangan orang Ibrani (Hak. 20:26) puasa diformalkan selama pembuangan dan sesudahnya. Hari raya Penghapusan Dosa ditetapkan sebagai hari puasa nasional. Nabi-nabi (misalnya Yer. 14:12) mengajukan protes, bahwa melakukan puasa tanpa pertobatan tidak akan membawa hasil apa pun. Pada zaman PB orang Yahudi berpuasa pada hari raya Penghapusan Dosa (Im. 16:29), dan orang-orang Farisi juga berpuasa selama dua hari setiap minggu (Luk. 18:12). Yesus berpuasa (Mat. 4:2), dan Gereja Perdana pun berpuasa (Kis. 13:2). Sebelum dibaptiskan, Paulus berpuasa (Kis. 9:9), dan hal ini menjadi praktik yang lazim dalam jemaat, misalnya sebelum pembaptisan dan pada waktu Paskah. Tampaknya, perikop menarik dalam Mrk. 2:18 dst. mencerminkan praktik puasa dalam jemaat, yang tidak sejalan dengan apa yang diingat tentang Yesus. Murid-murid Yesus dipersalahkan karena tidak berpuasa (Mrk. 2:18), tidak seperti murid-murid Yohanes Pembaptis. Jawab Yesus dalam Markus (2:19-20) adalah bahwa murid-murid-Nya akan berpuasa bila 'mempelai laki-laki diambil dari mereka'. Namun, lazimnya pengantin laki-laki tidak diambil! Orang-orang Farisi tidak mempunyai murid (2:18). Sepertinya ada perkataan Yesus yang asli mengenai kesukacitaan bersama Yesus, seperti halnya kesukacitaan dalam pesta pernikahan, yang telah diperluas oleh jemaat untuk mempertahankan diri dalam pertentangan mereka dengan orang-orang Yahudi pelawannya, pada saat itu.[3]
                  Kita juga perlu untuk mengetahui apa dan bagaimana puasa yang dilakukan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sehingga kita akan bisa menemukan benang merah antara puasa yang dilakukan murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi dengan puasa yang dilakukan oleh Yesus.
A.    Puasa dalam Perjanjian Lama
Dalam bahasa Ibrani disebut tsum, tsom, dan ‘inna nafsyÔ yang harafiahnya berarti “merendahkan diri dengan berpuasa”. Orang Ibrani berpuasa pada Hari Pendamaian (Imm 16:29,31; 23:27-32; Bil 29:7). Sesudah pembuangan, empat puasa tahunan yang lain dilakukan (Zak 8:19), menurut Talmud semuanya memperingati malapetaka dalam sejarah bangsa Yahudi. Ester 9:31 dapat ditafsirkan peristiwa yang mengandung penetapan dari saat puasa.
            Sebagai ada juga hari puasa sewaktu-waktu. Puasa ini kadang-kadang bersifat perseorangan (II Sam 12:22) dan kadang bersama-sama (Hak 20:26; Yol 1:14). Berpuasa adalah bukti lahiriah dukacita (I Sam 31:13; II Sam 1:12; 3:35 dll.). berpuasa sebagai peryataan pertobatan (I Sam 7:6; I Raj 21:27; Neh 9:1-2 dll.). inilah cara manusia merendahkan dirinya (Ezr 8:21; Maz 69:11). Kadang-kadang berpuasa digambarkan sebagai ganjaran yang ditimpakan kepada diri sendiri. Berpuasa kerap kali dilakukan dengan tujuan memperoleh bimbingan dan pertolongan Allah (Kel 34:28; Ulgn 9:9; II Sam 12:16-23 dll.). orang juga dapat berpuasa untuk menggantikan orang lain (Ezr 10:6; Estr 4:15-17). Ada juga orang yang berfikir, tindakan berpuasa dengan sendirinya menjamin bahwa Allah mendengar (Yes 58:3-4). Untuk menentang ini para nabi menyatakan, bahwa tanpa kelakuan yang benar, tindakan berpuasa adalah sia-sia (Yes 58:5-12; Yer 14:11-12; Zak 7).
B.     Puasa dalam Perjanjian Baru
Puasa dalam bahasa Yunani adalah nêsteuÔ, nêsteia dan nêstis. Dalam Kis 27:21,33 dipakai kata asitia dan asitos. Hari pendamaian adalah satu-satunya puasa tahunan Yahudi yang disinggung dalam PB (Kis 27:9). Beberapa orang Farisi ketat berpuasa tiap hari senin dan kamis (Luk 18:12). Orang Yahudi lain saleh, seperti Hana, mungkin kerap kali berpuasa (Luk 2:37). Yesus diberitakan berpuasa waktu pencobaaanNya di padang gurun. Tapi waktu itu ia tidak memilih untuk berpuasa, bahwa cobaan pertama mencakup bahwa ditempat yang dipilihNya sebagai persiapan untuk pelayananNya, tidak tersedia makanan (Mat 4:1-4). Namun berbeda dengan puasa musa (Kel 34:28) dan puasa Elia (I Raj 19:8) selama 40 hari.
Yesus menganggap bahwapara pendengarNya akan melakukan puasa, tapi Ia mengajar mereka supaya jika mereka melakukan puasa, mereka menghadap Allah bukan manusia (Mat 6:16-18). Waktu Yesus ditanyai, mengapa murid-muridNya tidak berpuasa seperti murid-murid Yohanes pembaptis dan orang-orang Farisi yang nyata-nyata berpuasa, dalam jawabanNya Ia tidak menolak puasa, tapi menerangkan bahwa hal itu tidak pantas bagi murid-muridNya “Selama mempelai laki-laki bersama-sama dengan mereka” (Mark 2:18-22). Nanti mereka akan berpuasa, seperti orang lain. dalam Kisah Para Rasul pemimpin jemaat berpuasa sebelum mereka memilih utusan injil (Kis 13:2-3) dan tua-tua (Kis 14:23). Paulus dua kali menyinggung puasanya (II Kor 6:5; 11:27), tapi tidak terang apakah puasa ini bersifat sukarela.
Mengenai Mat 17:21; Mrk 9:29; Kis 10:30;I Kor 7:5; ada naskha yang menyinggung puasa dalam ayat-ayat ini, ada yang tidak. Terjemahan Baru menerima singgungan ini dalam Mat 17:21, tapi bukan dalam ayat-ayat lain. Hal ini menandakan di gereja mula-mulaberkembang kepercayaan akan nilainya praktik puasa.[4]





BAB II
PEMBAHASAN (EKSPOS)

1.     Tafsiran Injil Markus
            Kalau kita melihat dalam Mark 2:18-28 disini kita akan menemukan bagaimana kekerasan hati orang Farisi dan bagaimana Yesus didesak untuk membuktikan bahwa diriNya tidak bersalah ketika Ia bergaul dengan pemungut cukai dan orang berdosa. Dan dalam Mark 2:18-28 ini kita akan menemukan Yesus membuktikan bahwa murid-muridNya benar dan mereka melakukan sesuai dengan kehendakNya.
1.      Yesus membenarkan mereka dalam hal tidak berpuasa dan menanggapi celaan orang Farisi terhadap mereka. Orang Farisi berpuasa karena mereka sudah terbiasa dengan puasa tersebut (Luk 18:12).  Namun juga murid-murid Yesus tidak tahu apa itu puasa dan apa maknanya.
2.      Bahwa saat itu adalah hari-hari penghiburan bagi mereka, jadi saat itu bukanlah saat yang tepat untuk mereka untuk melakukan puasa.
3.      Saat itu merupakan permulaan bagi mereka, jadi mereka belum begitu tahan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berat seperti yang akan meraka jalani di kemudian hari.[5]   
Kalau kita melihat latar belakang dari murid-murid Yohanes adalah orang yang masih tetap bertahan sampai akhir abad II (Yoh 3:25) sedangkan orang-orang Farisi adalah kelompok keagamaan Yahudi yang menekankan keharusan menggenapi setiap hukum Taurat. Jadi mereka pantas untuk mempertanyakan mengapa murid-murid Yesus tidak berpuasa karena pada saat itu mereka sedang melakukan puasa (Luk 18:12).
Dibagian ini kita akan menemukan tiga perumpamaan yang Yesus lontarkan untuk menjawab pertanyaan dari murid-murid Yohanes dan dari orang-orang Farisi.
A.    Sahabat-sahabat Mempelai Laki-laki
Dalam ayat 19 (mempelai laki-laki) menjadi perdebatan karena adanya beberapa pandangan tentang hal ini. Sebab mempelai laki-laki  itu sendiri tidak menunjukkan secara jelas gelar mesianis itu. Namun hal ini diperjalas kembali dalam ayat 20 sehingga diripengantin laki-laki itu tidak bisa tidak diarahkan kepada Yesus, dimana hal ini menunjuk kepada perpisahan antara Yesus dengan pengikut-pengikutNya[6]. Dan menurut salah satu buku tafsiran mengatakan bahwa ini adalah kebiasaan atau gambaran dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan kehadiran Allah pada umatNya dan puasa dilihat sebagai persiapan kedatangan Allah, jadi ini menunjjukkan bahwa Kerajaan Allah akan segera hadir dalam diriNya[7].

B.     Kain Yang Belum Susut/baru dengan yang sudah tua
Dalam ayat 21  kita kembali menemukan perumpamaan yang Yesus berikan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi yaitu “kain yang belum susut”, dimana kita bisa melihat bagaimana situasi puasa yang lama yang dipertentangkan dengan situasi puasa yang baru (tidak berpuasa). Pengaktualannya : Antara tata Yahudi Perjanjian Lama (yang dilambangkan oleh puasa murid-murid Yohanes) dan tata Kristen baru (yang dilambangkan oleh puasa yang dilakukan oleh para pegikut Yesus) terjadi robekan. Seandainya murid-murid Yesus mengikuti praktik puasa lama, maka mereka serupa dengan orang yang menambalkan jubah tua dengan kain yang baru ataupun menuangkan anggur baru ke dalam kibrat  yang sudah tua dan lapukan.
Praktik para murid Yohanes terarah pada persiapan akan kedatangan Mesias. Tetapi, Yesus justru memaklumkan genapnya waktu. Maka kehadiranNya merupakan unsur penggenapan yang menentukan. Murid-muridNya memang tidak berpuasa, sebab mereka bersukacita atas kedatangan Kerajaan Allah dan karena mereka sudah menjadi warga Kerajaan itu.
Yang baru itu searti dengan “total berbeda” dengan yang lama. Inilah ciri khas khas zaman akhir. Yang baru merobekatau meretaskan yang lama. Maka, siapa saja yang masih mempertahankan yang lama (puasa sebagai persiapan akan penghakiman yang akan datang), ia sama sekali tidak mengerti bahwa bersamaan dengan Yesus mulailah sudah zaman baru.
Gambaran tentang kedua perumpamaan diatas adalah berciri eakatologis, serupa dengan perjamuan mesianis yang digambaran dalam 2:15-17, yang menekankan unsur penggenapan yang terjadi bersamaan dengan hadirnya Yesus. Jadi pribadi Yesus adalah tanda bahwa situasi lama sudah berubah dan sekaligus jaminan bahwa kenyataan yang tergambar dalam kedua perumpamaan singkat ini, tidak lama lagi akan dapat dialami langsung[8].
C.     Perumpamaan Tentang Anggur
                        Kembali kita melihat dalam ayat 21-22 ini yang merupakan pelaksanaan keagamaan dari agama Yahudi kuno kepada keadaan baru dari injil, adalah tidak layak halnya seperti menambalkan kain yang baru pada baju tua, atau mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit tua. Hasil ketiga hal ini sama merusakkan. Demikianlah kesalahan para guru Kristen Yahudi yang masih menganut agama Yahudi, yang ditentang Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia (Gal 4:9-10). Hal berpuasa, dapat dikatakan Yesus menyetujuinya tanpa mengajurkannya (Mat 6:16-18). Hakikatnya adalah pengekangan diri, bukan dalam arti formil seperti para pertapa dan biarawan, melainkan dalam arti dengan sukarela menundukkan yang jasmani kepada yang rohani (Band I Kor 9:24-27)[9].

                 


BAB III
PENUTUP

1.     Kesimpulan
                  Kalau kita dalam bagian ini dengan jelas kita akan menemukan bahwa konsep berpuasa dalam Perjanjian Lama sangat berbeda dengan konsep puasa di dalam Perjanjian Baru, sehingga Yesus memberikan perumpamaan tentang kain yang belum susut dengan kain yang sudah tua dan bagimana anggur yang baru dengan kantong yang tua,  yang berarti bahwa konsep berpuasa dalam Perjanjian Lama (puasa untuk pertobatan, memperoleh bimbingan dan pertolongan Allah), namun kita bisa melihat juga dalam Yes 58:5-12 bagaimana puasa yang benar, dan juga kita bisa melihat bagaimana puasa yang dinyatakan Yesus bahwa puasa bukan hanya rutinitas, dan bahkan kalau kita melihat mereka juga melakukan puasa untuk kesombongan diri. Bukankan itu sama saja dengan apa yang kita lihat dari orang Farisi yang menghina pemungut cukai (Luk 18:9-14).
2.     Aplikasi
                  Jadi kalau kita melihat pasal ini bahwa begitu banyak orang yang berpuasa justru menjadi batu sandungan orang lain, apakah ini puasa yang diinginkan Tuhan? Jadi sebagai umat Kristen baiklah kita hidup menjadi berkat bukan jadi batu sandungan karena hidup kerohanian kita, sehingga kita bisa menjadi orang yang berhati-hati melangkah dalam hidup ini, karena Tuhan tidak pernah menginginkan umatnya berpisah bagaimana dikatakan bahwa kita ini adalah satu tubuh dalam Kristus.
                  Dan hal yang ironi yang kita lihat akhir-akhir ini bahwa begitu banyak orang yang menyalahkan orang yang tidak puasa, demikian sebaliknya. Dan juga sering melihat bahwa begitu banyak orang yang mempunyai paradigma, jika orang melakukan puasa maka itu akan menambah kuasa doanya, namun jika kita melihat dalam perikop ini tidak ada menjelaskan hal yang demikian, jadi untuk itu puasa hanyalah latihan badani yang terbatas kuasanya ( I Tim 4:8). Dan jangan sampai kita melakukan puasa justru mirip dengan mistis/mantra seperti apa yang orang kafir lakukan dan hendaknya kita melakukan puasa dalam suasana merdeka bukan kerangka menghukum diri.
                  Puasa memang tidak salah tapi yang menjadi penting untuk kita adalah apakah kita melakukan puasa dengan tulus hati, dan dibarengi dengan cara hidup yang benar dihadapan Tuhan?.
     
         


[1] Stefan Leks.Tafsiran Injil Markus, (Yogyakarta:Kasinius, 2007) Hlm.124
[2] Rev. Ola Tulluan,Ph.D. Introduksi Perjanjian Baru, (Malang: Literatur YPPII,1999) Hlm. 41-44
[3] W.R.F. Browing, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK, 2008) Hlm. 363
[4] Anggota IKAPI DKI Jakarta. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II (Jakarta:YKBK/OMF, 2002) Hlm. 280
[5] Matthew Henry. Tafsiran Matthew Henry Injil Markus, (Surabaya: Momentum, 2007) Hlm. 39-40
[6] M.H.Bolkestiein. Kerajaan Yang Terselubung, (Jakarta: BPK, 2004) Hlm. 58-59
[7] Dianne Bergant Dkk. Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: KANSINUS/Anggota IKAPI) Hlm.84
[8] Stefan Leks, Tafsiran Injil Markus (Yogyakarta:Kasinius, 2007) Hlm.124
[9] D. Guthrie, Dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 (Jakarta:YKBK/OMF, 1994)Hlm.134-135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar