Di sebuah padang yang luas, hiduplah seorang gembala muda bernama Yoram. Ia baru menggantikan ayahnya, seorang gembala senior yang sangat dihormati dan dikenal bijak.
Hari itu, awan gelap mulai menggantung. Angin kencang bertiup, dan langit memberi tanda akan datang badai besar. Tapi Yoram, karena ingin menunjukkan kehebatannya sebagai gembala muda, ia menolak untuk berhenti dan berteduh.
Ia berkata dalam hati,
“Kalau aku mundur sekarang, mereka akan pikir aku takut.
Aku harus tunjukkan aku bisa memimpin ke padang yang lebih hijau dan lebih cepat!”
Para gembala tetangga memperingatkan,
Tapi Yoram tetap keras kepala.
Ia mengabaikan nasihat, mengandalkan insting sendiri, dan memaksa domba-dombanya menuruni jalan pintas.
Tak lama setelah itu, hujan deras turun, tanah menjadi lumpur, dan jalan itu berubah menjadi sungai licin.
Puluhan domba tergelincir dan jatuh ke jurang, beberapa terperangkap dan mati kedinginan.
Yoram panik. Ia kehilangan arah, kehilangan kawanan, dan duduk menangis sendirian di tengah kabut, dikelilingi suara domba-domba yang terluka.
Seorang gembala tua datang dan berkata,
“Jalan pintasmu telah menjadi jalan kehilangan. Bukan karena kau jahat, tapi karena kau keras kepala dan tidak mau belajar.”
Yoram sadar—bukan hanya dirinya yang rugi karena kesalahan keputusan, tapi kawanan yang dipercayakan padanya juga menderita.
Yoram tidak pernah berniat jahat.
Tapi karena ia lebih ingin terlihat kuat daripada bijak, seluruh kawanan menjadi korban.
💡Kesalahan kecil pemimpin menjadi luka besar bagi yang dipimpinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar